on Selasa, September 16, 2008 posted by Saikhu Baghowi 0 komentar

Tragedi zakat yang menewaskan 21 orang di Pasuruan, 15 September 2008, membuat kita berpikir pada dua hal: kemiskinan yang masih menganga di depan mata, dan gagalnya mengadopsi sistem pemberian zakat ala manajemen modern. Kemiskinan, karena pada bulan puasa, di tengah terik matahari, sekitar 7 ribu jiwa manusia rela berjubel, berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan Rp 30 ribu. Uang yang mungkin oleh warga Pasuruan sendiri tidak terlalu besar. Namun fakta ini menunjukkan sekecil apapun uang, ketika nyata di depan mata adalah harapan menyambung nyawa, demi susu anak, demi uang jajan anak, demi kebutuhan hidup sehari, dan entah alasan lain yang meluncur dari setiap orang yang rela berjubel itu.

Merekapun sadar bahwa untuk mendapatkan Rp 30 ribu harus "berkompetisi" dengan ribuan orang. Namun mereka pikir, tradisi Haji Syaikon membagikan zakat toh sudah berlangsung sejak puluhan tahun. Dan tak ada tragedi yang menelan korban jiwa. Apatah lagi, Haji Syaikon menjamin setiap yang datang kepadanya tak akan luput satupun untuk menerima zakat. Apa yang memuaskan sang haji, melihat kerumunan massa yang menyemut, memastikan setiap orang menerima uang pemberiannya, atau penyadaran dirinya bahwa kemiskinan mengingatkan dia tentang fakta takdir Tuhan.

Haji Syaikon tahu, tradisi rutin setiap tanggal 15 Ramadhan selalu menghadirkan massa yang makin membludak dari tahun ke tahun. Polisi, atau aparat keamanan juga tahu, bahwa tradisi ini akan berlangsung sesuai tanggal yang ditentukan. Nah, salahkah Haji Syaikon menafikan cara modern membagikan zakat, atau salahkah polisi yang tak mengantisipasi massa yang terus membludak? Sebuah tragedi yang sulit menentukan siapa yang patut disalahkan.

Salahkah Syaikon yang tak mempedulikan keberadaan Badan Amal Zakat, atau lembaga penyalur zakat lainnya. Sungguh tak adil pula menyalahkan faktor ini. Setiap orang berhak menyalurkan zakat dengan caranya sendiri. Bahwa ada yang menilai riya dan sebagainya, Tuhanlah yang menghakimi.

Yang pasti, ada kelalaian. Apapun kegiatan yang melibatkan ribuan massa, semestinya ada aparat yang bertindak. Sehingga tak harus jatuh korban. Ini pelajaran buat Haji Syaikon lain yang masih mentradisikan membagikan zakat mal dengan jalannya masing-masing.

on Minggu, September 07, 2008 posted by Saikhu Baghowi 2 komentar

Dikotomi pemimpin muda dan tua sejatinya bukanlah hal yang substansial. Bahwa kemudian ada anggapan yang muda belum dipercaya, adalah persoalan lain. Jauh lebih esensial adalah merumuskan kepemimpinan itu sendiri. Apakah kepemimpinan nasional yang kita butuhkan? Bagaimana kualifikasinya?

Setia pada Pancasila dan NKRI sudah merupakan harga mati. Membangun cita-cita luhur proklamasi dalam Undang-Undang Dasar, sudah menjadi rahasia umum. Namun bagaimana kepemimpinan dalam tatanan konkret yang dibutuhkan masyarakat?

Ada empat hal, yang mungkin bisa membantu masyarakat menentukan kepemimpinan nasional: popularitas, akseptabiitas, kapabilitas, dan integritas.

Popularitas, hasil polling, suka tidak suka, mampu mempengaruhi masyarakat tentang kepemimpinan itu sendiri. Lembaga-lembaga survey, pasca era reformasi memang menjadi parameter masyarakat menentukan siapa yang akan mereka pilih, sebagai presiden, gubernur, ataupun bupati/walikota. Dan inilah yang memacu partai politik akhirnya mengesampingkan tentang kompetensi seseorang saat mencalonkan anggota legislative, maupun calon kepala daerah: lihatlah astis menjadi komoditas penyedot suara.
Akseptabilitas. Bagaimana sang pemimpin mampu diterima di tengah masyarakat? Tidak ada bukti hukum yang cukup kuat untuk melengserkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid—setidaknya ia belum pernah dijadikan tersangka. Namun tekanan politik membuat Gus Dur saat itu mengalami delegitimasi. Dan karena opini public yang terbentuk, gelombang menjatuhkan Gus Dur pun tak terbendung.
Kapabilitas. Dalam bahasa lain menyerupai kompetensi. Ini menyangkut jiwa kepemimpinan seseorang (leadership), kemampuan menguasai masalah bangsa, dan resep solving problem yang ditawarkan. Tiga hal yang menjadi masalah krusial: menyelamatkan asset Negara menjalankan amanat Pasal 33 UUD 45, mempertahankan kedaulatan NKRI dan martabatnya di dunia internasional, dan otonomi daerah yang menjurus pada federalisme.
Integritas, sejauhmana integritasnya di mata masyarakat. Mematahkan segala isu kontroversi, pernahkah tersangkat kasus korupsi, ataupun hal-hal lain yang dianggap melukai rasa keadilan masyarakat.

Saya kira, kita sebagai anak bangsa harus mencermati, siapakah gerangan capres yang memenuhi persyaratan di atas. Dan Todays Dialogue mencoba membantu anda menemukan jawabannya…

on Senin, Agustus 18, 2008 posted by Saikhu Baghowi 2 komentar

Seorang wartawan, yang boleh jadi terbiasa dengan desk politik, tentu dekat dengan narasumber politisi. Ketika proses rekruitmen pencalegan dilaksanakan, kasak kusuk mulai beredar, baik di kalangan wartawan sendiri maupun politisi. Wartawan ada yang mengincar jabatan politik (anehnya kenapa pilihannya selalu menjadi caleg), politisi berdasarkan kedekatan emosional maupun pantauan profesionalitas kerja mencari wartawan untuk diterjunkan ke dunia politik.

Seorang teman berujar kepada saya, "Apanya yang menarik jadi caleg? Anda akan bertarung dengan para politisi yang sudah kawakan. Anda akan terbatas privasinya, handphone disadap, jadi bulan-bulanan media kalau ke luar negeri. " Belum lagi, jika anda menjadi anggota DPR, ketika masa reses, anda turun ke daerah, maka logistik dan "gizi" harus anda siapkan.

Memang, anggota DPR bukan pemerintah, ia memang bagian dari pemerintahan. Namun ketika daerah anda yang anda kunjungi, membutuhkan masjid, sekolah, jembatan yang harus diperbaiki, penerangan jalan yang minim, dll maka anda akan ditunjuk sebagai mesiah "Pak Wakil Rakyat bantulah kami."

Belum lagi jika anda bertemu konstituen, di depan anda ia mengaku mencoblos untuk suara anda. Di belakang? No body knows.. Sang konstituen, atau yang mengaku konstituen anda, mungkin mengeluhkan istrinya yang sakit, anaknya yang butuh biaya sekolah, atau malah dia ingin cerai dari istri pertamanya dan berniat menikah lagi....

Jadi, apa menariknya menjadi caleg? Okelah, sekarang parpol mengedepankan suara terbanyak dibandingkan nomor urut, -- sebuah inkonsistensi dari politisi senayan sendiri saat memperjuangkan aturan main ini-- boleh jadi sang ketua umum berjanji akan mensupport anda secara logistik. Tapi, bayangkan anda melepaskan atribut kewartawanan, sebuah profesi yang bisa mengakses semua kepentingan.. Bayangkan, anda harus tunduk pada aturan yang mungkin suatu saat membelenggu nurani anda...

Hidup adalah pilihan... Jika ingin memaknai hidup ini berbuat untuk orang lain, predikat apapun yang melekat tak akan mempengaruhi sikapnya untuk rakyat dan bangsa...

on Rabu, Agustus 06, 2008 posted by Saikhu Baghowi 0 komentar

Todays Dialogue bukanlah program debat kusir yang tidak jelas juntrungannya. Program talkshow yang tayang di Metro TV setiap Selasa pukul 23.05 WIB ini lebih mengedepankan narasumber yang prominant yang mampu menjawab issue kontroversi yang tengah berkembang di masyarakat. Dialogue, memang diharapkan mampu menghasilkan solusi. Namun kami sadar, sulit rasanya mempertemukan perbedaan pendapat hanya dalam durasi 1 jam. Ibarat kata orang, "janganlah kau berpikir mampu mengubah dunia hanya dengan orang menonton TV." Oleh sebab itulah, motto Todays adalah, "menghargai perbedaan". Narasumber boleh berbeda pendapat dengan argumentasinya masing-masing. Kebenaran milik siapa, tentu pemirsalah yang paling menentukan.

Salam,

M Saikhu

on Selasa, Agustus 05, 2008 Label: posted by Saikhu Baghowi 0 komentar

Memperingati 10 tahun bergulirnya reformasi di Indonesia, MetroTV menayangkan edisi khusus untuk acara talkshow mingguan mereka, Today's Dialog, yang diberi tajuk Meretas Jalan Reformasi. Edisi ini disiarkan dalam dua seri, yang pertama pada Selasa (1/1/08) pukul 22.05.

Saya senang karena ada tokoh idola saya Amien Rais. Tapi, secara keseluruhan acara itu memang menyenangkan. Isi obrolannya sih, tentu sudah cukup bisa diduga --banyak pernyataan-pernyataan klise dan normatif. Tapi, apa kita bisa berharap lebih dari itu, dari sebuah talkshow televisi yang menghadirkan misalnya Wapres Jusuf Kalla dan mantan Panglima TNI Wiranto, sebagai narasumber? Bagi saya, kelebihan acara yang berlabel edisi khusus ini memang bukan pada "materinya" melainkan pada "ambiance" yang berhasil dimunculkannya.

Selain 3 nama yang sudah saya sebut di atas sebagai pembicara, MetroTV juga mengundang begitu banyak tokoh sebagai peserta. Senang melihat kembali Budiman Soedjatmiko yang makin ganteng dan modis saja (hehehe). Rama Pratama yang dulu di masa "pergolakan" adalah ketua senat UI kini telah menjadi anggota DPR dan menikmati berbagai fasilitas yang serba enak itu. Seorang tokoh muda pengamat hukum, Denny Indrayana datang jauh dari Yogyakarta dan berbicara dengan kritis.

Wiranto tiba-tiba tampak begitu bijak dan dalam setiap pernyataannya selalu berusaha menunjukkan bahwa dirinya pahlawan dalam konteks sejarah reformasi. Namun, ia bisa memberi sentuhan humor pada acara itu ketika tiba-tiba menyebut kata "hati nurani" yang bisa dimaknai sebagai promosi terselubung untuk partai yang didirikannya. Jusuf Kalla mementahkan hampir semua pernyataan orang lain dengan satu-dua kalimat bantahan khas seorang penguasa, namun bisa melucu juga dengan menyambut "curhat colongan" Wiranto tadi dengan mengatakan, "Hati nurani harus dibarengi dengan berkarya."

Amien Rais seperti biasa, blak-blakan dan tangkas, tak mau kalah menyahut, "Punya hati nurani dan berkarya percuma saja kalau tidak memperhatikan amanat rakyat."

Sayang, ada satu anggota DPR, dari partai Islam, yang terlalu serius dan garing dengan mempersoalkan, apakah Amrozi dan kawan-kawan bisa dipercaya sebagai pembuat bom, atau Amerika ada di balik itu?

Untunglah, pemandu acara Najwa Shihab dengan bagus sekali telah membawakan acara itu, membuat yang garing-garing jadi "basah" dan sindiran-sindirannya yang halus sangat mengena. Berkat kesiapan dan kesigapannya, Today's Dialog edisi khusus kali ini menjadi sebuah talkshow yang menghibur, tidak bertele-tele dan asik ditonton. Tapi, lebih penting dari semua itu: acara tersebut telah berhasil menjadi gambaran betapa setelah 10 tahun, sebagian besar dari reformasi kita hanyalah sebuah ironi.

Edisi ke-2 acara ini akan ditayangkan Rabu (2/1/08) pada jam yang sama, dengan fokus pembicaraan pada isu-isu ekonomi.

review dari blog http://rumputeki.multiply.com/reviews/item/32

on Selasa, Agustus 05, 2008 Label: posted by Saikhu Baghowi 0 komentar

Tahun 2008 akan segera kita songsong. Berarti era reformasi akan memasuki usai dasawarsa. Pantaskah stigma demokrasi yang kebablasan, pemberantasan korupsi yang terkesan tebang pilih, kemiskinan terus melekat di negara yang kita cintai ini?

Today’s Dialogue, sebuah acara talkshow di Metro TV ingin mencari jawaban dari persoalan-persoalan diatas. Tema ”Meretas Jalan Reformasi” yang dipandu oleh Najwa Shihab dan menampilkan narasumber Wakil Presiden RI – Muhammad Jusuf Kalla, Mantan Ketua MPR RI – Amien Rais, Mantan Pangab Jenderal (purn) Wiranto, mantan Gubernur Jakarta Sutiyoso, bersama analis dan aktifis politik seperti: M.Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, Usman Hamid, Hendardi, Denny Indrayana, Aviliani, Drajad Wibowo, Anas Urbaningrum, dll. Acara ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih yang berharga buat menatap bangsa ini di tahun 2008 dan tahun-tahun berikutnya menjadi lebih baik.

Jadi, jangan lewatkan Today’s Dialogue Eksklusif Edisi Akhir Tahun 2007 pada Selasa, 1 Januari 2008 mulai pukul 22.05 s/d 23.00 WIB dan Rabu, 2 Januari 2008 mulai pukul 22.05 s/d 23.00 WIB hanya di Metro TV!!

diambil dari situs fadjroel rachman
http://mfadjroelrachman.multiply.com/calendar/item/10005